DUALISME HUKUM AGRARIA
Dalam sejarah
perkembangan Hukum Agraria di Indonesia pernah mengalami beberapa era
yang dimana di awali dengan berlakuka system Hukum Agraria Kolonial yang
berlaku di era penjajahan belanda. Era ini penduduk Indonesia Belanda di bagi
mejadi beberapa kelomok yaitu:
- Golongan Eropa
- Golongan Timur Asing
- Golongan Bumi Putra
Di era ini ada
dua sistim hukum pertanahan yang beerlakku yaitu Hukum Agraria Barat yang
berlaku bagi Golongan Eropa dan akhirnya berlaku juga bagi gologan Timur Asing
dan Hukum Agraria Adat yang berlaku bagi golongan Bumi Putra, dari dua system
tersebut memeilki perbedaan salahsatunya perbedaan di dalam macam-macam
hak yang di atur di dalam kedua system hukum tersebut, selain itu di era kolonial
tersebut mengandung Asa Domain Verklaring yaitu asas yang menyebutkan bahwa
Tanah adalah milik Negara, serata di era ini tidak ada kepastian hukum di
karnakan system dualism yang di anutnya tersebut.
PENGERTIAN HUKUM AGRARIA
Kata agrarian adalah berasal dari kata akker (bahasa
Belanda), agros (bahasa yunani) berarti tanah pertanian, agger (bahasa
latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius (bahasa latin) berarti
perladangan, persawahan, pertanian, agrarian (bahasa ingris) berarti tanah
untuk pertania.[1]
Menurut Andi Hamzah, agrarian adalah masalah tanah dan
semua yang ada di dalam dan di atasnya.[2] Dari pengertian tersebut dapat di
simpulkan bahwa agrarian adalah seluruh lingkup yang ada di alam baik yang ada
di dalamnya ataupun di atasnya, sebagaimana di jelaska oleh Undang-undang Pokok
Agraria yang di aksud agrarian adalah Bumi, Air, Ruang angkasa dan Kekayaan
alam yang ada di dalamnya.
Pengartian hukum agraria, Hukum adalah seperangkat
aturan baik tertulis ataupun tidak tertulis yang mengatur tingkahlaku manusia
dalam lingkup bermasyarakat guna tercapainya ke amanan dan kedamaian dalam
bermasyarakat, maka kita gabungkan dengan pengertian agrarian di atasmaka Hukum
Agraria adalah seperangkat aturan baik tertulis ataupun tidak tertulis yang
mengatur mengenai Agraria.[3]
Dari penjelasan di atas di sebutkan Hukum Agraria
adalah sperangkat aturan baik tertulis ataupun tidak tertulis mengenai Agraria,
yang di makssud tertulis di sini adalah peraturan agrarian yang dalam bentuk
Undang-undang dan di buat oleh Badan Hukum yang berwenang, sedangkan yang tidak
tertulis adalh peraturan agrarian yang di buat oleh Masyarakat Hukum Adat dan
bentuknya tidak secara terang-terangan di tulis tetapi sudah menjadi kebiasaan
yang di ulangi secara terus menerus oleh anggota Masyarakat Hukum Adat.
HUKUM AGRARIA ERA KOLONIAL
Dalam
perkembangan agrarian di Indonesia telah mengalami berbagai macam era dan yang
palin penting adalah dalam era Kolonial dimana posisi Indonesia masih sebagai
nusantara belum sebagai Negara yang berdiri sendiri, dimana di era ini
Indonesia masih dalam keadaan terjajah atau dengan katalain di kuasai oleh
Negara lain baik bidang politik maupun ekonomi. Pada era ini para bangsa eropa
yang mendiami Indonesia memiliki aturan Hukum yang mereka bawa sendiri yang
mana salahsatunya adalah Hukum Agraria yang mereka buat sendiri yang di sebut
dengan Hukum Agraria Barat, sudah pasti meraka terapkan di Indonesia namun
dalam penerapannya itu hanya mencakup golongan Eropa saja dan di kemudian hari
juga berlaku untuk golongan Timur Asing, tetapi bagi golongan asli Indonesia
atau sering di sebut sebagai Golongan Bumi Putra berlaku Hukum Agraria mereka
sendiri yaitu Hukum Agraria Adat.
Dasar dari
Hukum Agraria era Kolonial adalah:
1. Agraris Wet. ( Stb. 1870 No. 55)
Tujuan dari Agraris Wet Adalah
- Memberikan jaminan untuk pemegang modal besar swasta untuk bias berkembang
- Adanya kemungkinan untuk mendapatkan erpacht (ha katas tanah yang dapat di hipotikkan)
- Memberikan kemungkinan untuk pemegang modal besar swasta untuk menyewa tanah rakyat
- Dimungkinkanya pribumi untuk mempunyai hak Eigendom yaitu Hak AGRARISCH EIGENDOM maka ada jaminan hukumnya.
2. Agraris Besluit (Stb. 1870 No.
118)
Mengandung asas DOMEIN VERKLARING yang artinya bahwa
tanah yang tidak bias di buktikan kepemilikannya oleh siapapun maka tanah itu
di akui sebagai tanah MILIK Negara yang artinya Negara menguasainya secara
penuh. Tujuan dari asa ini adalah:
- landasan bagi para pemerintan Hindia Belanda untuk memiliki tanah yang berarda di Indonesia yang selanjutnya di gunakan untuk kemakmurannya sendiri atau untuk di jual kembali kepada para pemilik modal swasta untuk di konversi sebagai ak milik.
- Fungsi pembuktia yang berbeda dengan beban pembuktian yang di anut oleh sistim pembuktian Acara Perdata bahwa barangsiapa yang mengklaim mempunyai suatu barang dia yang harus membuktikannya, di dalam Domein Verklaring Yng harus membuktikan hak eigendom adalh orang lain yang bukan pemikik.
3. Gronduss Vervending Verboed (Stb.
1875 No. 179)
Di keluarkanya peraturan ini adalh sebagaimana imbas
dari kesadaran bangsa eropa yang mneganggap bahwa golongan bumi putra tidak
mempunyai perlindungan hukum bagi tanah merka maka di desaklah untuk di keluarkannya
pengatura perlindungan tanah Bumi Putra yang terkandung dalam Gronduss
Vervending Verboed yang isinya adalah larangan pengasingaN tanah, ada untuk
melindungi tanah bumi putra dari rampasan/penjualan kepada kaum Timur Asing
(semua perbuatan hukum yang hendak mengalihkan hak atas tanah Bangsa Indonesia
kepada bukan Bangsa Indonesiabaik langsung atau tidak langsung itu di larang
dan di ancam batal demi hukum.[4]
DUALISME HUKUM KOLONIAL
Keadaan pada era kolonial memaksa adanya dualisme
hukum yang terjadi di Indonesia, ini di karenakan golongan eropa tidak mau
menggunakan Hukum Agraria Adat untuk di terapkan pada mereka karena mereka
menganggap hukum tersebut hukum yang tidak pantas bagi mereka. Dan hukum baratpun
tidak cocok dengan keadaan dalam Masyarakat Hukum Adat maka terjadilah dualism
hukum agrarian yaitu:
1. Hukum Agraria Adat.
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria
yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang di punyai
dengan hak-hak atass tanah yang di atur dalam hukum adat, yang selanjutya
sering di sebut tanah adat atau tanah Indonesia.
Hukum agrarian adat terdapat dalam hukum adat tentang
tanah dan air (bersifat intern), yang memberikan pengaturan bagi sebagian
terbesarr tanah di Negara. Hukum agrarian adat diberlakukan bagi
tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Misalnya tanah (hak) ulayat, tanah
milik perseorangan yang tunduk pada hukum adat.
2. Hukum Agraria Barat.
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum Agraria
yang bersumber pada hukum perdata barat, khususnya yang bersumber pada
Burgerlijk wetboek (BW). Hukum Agraria ini terdapat dalam BW (bersifat
ekstern), yang memberikan pengatura bagi sebagian keecil tanah tetapi bernilai
tinggi. Hukum Agraria ini di berlakukan atas dasar konkordansi. Misalnya tanah
Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpach, Rechts van Gebruik.[5]
Selain dari hukum yang berlaku lebuh dari satu yang
akhirnya menimbulkan sistim dualisme Hukum Agraria pada era kolonial, sifat Dualisme
ini juga meliputi:
1. Hukumnya
Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria,
yaitu Hukum Agraria Barat, Hukum Agraria Adat, Hukum Agraria Swapraja, Hukum
Agraria Administratif, dan Huum Agraria Antargolongan.
2. Hak Atas Tanah.
Pada saat yang bersamaan berlaku bermacam-macam hak
atas tanah yang berbeda hukumnya, yaitu:
- Hak Atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat yang di atur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak postal, dan hak erpacht.
- Hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Adat daerah masing-masing yang di sebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yasan, tanah kass desa, tanah bengkok, tanah ganjaran, tanah kuburan, tanah penggembalaan (tanah pangonan)
- Hak atas tanah yang mrupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya grant sultan (semacam hak milik adat yang di beri kan oleh pemeritah swapraja khusus bagi kaula praja, di daftar di kantor pejabat swapraja).
- Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia-belanda, misalnya hak agrarische eigendom (tanah milik adat yang di tunjukkan dirinya pada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah-tanah yang subjeknya hukum terbatass pada orang-orang dari golongan Timur Asing Tionghoa).
3. Hak Jaminan atas Tanah.
Beberapa Hak Jminan atas tanah pada masa berlakunya
HukumAgraria Kolonial, yaitu:
- Lembaga Hypotheek di peruntukan bagi hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat, yaitu hak eigendom, hak postal, dan hak erpacht, yang di atur dalam pasal 1162 sampai dengan pasal 1332 KUHPerdata dan Overschrijving Ordonantie Stb. 1834 No. 27.
- Lembaga Creditverband di pruntukan bagi tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Adat. Lembaga jaminan ini merupakan ciptaan pemerintah Hindia-belanda dalam rangka melaksanakan program pengentasan rakyat pribumi dari kemiskinan dan beleenggu utang denga meemberikan kredit melalui lembaga rakyat. Lembaga jaminan ini di atur dalam Stb. 1908 No. 542 dan telah di ubah dengan Stb. 1973 No. 190.
- Lembaga Jonggolan di jawa, dan Bali di sebut Makantah dan di Batak di sebut Tahan, dalam hubunganya dengan utang piutang di kalangan wwarga masyarakat, Diana pihak debitur menyerahkan tanahny sebagai jaminan utang kepada kreditur.
Dalam lembaga ini di perjanjikan bahwa semua
utangtangnya belum di bayar lunas, debitur tidak akan melakukan prbuatan hukum
apa pun dengan pihak lain mengenai tanah yang dijaddikan jaminan utang.
4. Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Overschrijving Ordonantie Stb. 1834 No.
27, pendaftaran tanah di lakukan oleh Kantor Pendaftaran Tanah atas tanah-tanah
yang tunduk pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bkti
berupa sertifikat yang di berikan kepada pemegang haknya. Sebaliknya, untuk
tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat tidak di lakukan pendaftaran tanah, sehingga
tiak memiliki sertipikat dan tidak emberikan jamminan kepastian hukum.
Hukum Agraria Kolonial bagi bangsa Indonesia asli
tidak menjamin kepastian hukum. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam
bidang Agraria bagi rakyat Indonesia asli disebabkan oleh dua hal yaitu:
- Dari segi peangkat hukumnya.
Bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Agraria Barat
perangkat hukumnya jelas dan tertulis yaitu dapat di lihat dalam Kitab
Undang-undang Hukum perdata, sedangkan bagi Rakyat Indonesia asli yang tunduk
pada Hukum Agraria Adat perangkat hukumnya tidak secara tertulis yaitu terdapat
dalam kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat hukuma adat yang
memang di taati keberadaanya.
Dengan perangkat hkum yang terulis mka orang dapat
dengan mudah menemukan pengaturan apa saja yang terseda di dalamnya sepert
contoh dapat mengetahui kemungkinan untuk menguasai dan menggunakan tanah yang
di perlukan,bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban, serta
larangan-larangan apa yang ada di dalamnya menguasai tanah dengan hak-hak
tertentu, sanksi apa yang di hadapinya jika di abaikan ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan
penggunaan tanah yang di punyainya. [6]
Dengan keadaan perangkat hukum yang tidak tertulis,
maka Hukum Agraria adat jauh dari jaminan kepastian hukum bagi rakyat terhadap
hak-hak atas tanahnya.
- Dari segi pendaftaran tanah.
Untuk tanah-tanah yag tunduk pada Hukum Barat, misalnya
hak eigendom, hak postal, hak erfpacht dilakukan pendaftaran tanah dengan
tujuan memberikan jaminan kepastian hukum dan menghasilkan tanda bukti yang
berupa sertipikat. Penddaftaran tanah ini dikenal degan recht cadaster atau
legal cadaster.
Untuk tanah-tanah yang tuduk pada hukum adat tidak di
lakukan pendaftaran tanah, sehingga tidak mempunyai jaminan kepastian hukum.
Kalau pun dilakukan penddaftaran tanah, tujuannya bukan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum melaikan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban
membayarkan tipikat, melainkan tanda bukti pembayaran pajak atas tanah,
misalnya Petok, Pipil, Gririk, Ketitir, Verponding Indonesia. Penddaftaran
tanah ini di kenal dengan Fiskal Cadaster.
_____________________________________
[1] Urip santoso, Hukum Agraria,
(kencana,Jakarta,2012) hlm. 1
[2] Andi Hamzah, Kamus Hukum,
(Ghalia, Jakarta,1986) hlm. 32
[3]
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, (Universitas,
Terbuka, Karunika, Jakarta, 1988). Hlm 1.2 (dalam buku Urip Santoso, HUkum
Agraria.)
[4] Sunarto, Kuliah Hukum Agraria,
Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, 05 september 2014
[5] Urip
Santoso, op, cit. hlm. 7-8
[6] Boedi
harsono, Undang-undang Pokok Agraria Sedjarah Penyusunan: Isi dan
pelakssanaannja, (Djambatan, Jakarta,1971). Hlm 60.
0 Comments